MAGELANG - Pendhapa Sanggar Manunggal, Antara rasa dan jawa tidak dapat terpisahkan. Sama dengan bunyi ungkapan berikut : ”wong jawa
nggone rasa”. Kalau dalam trichotomi kejiwaan pada umumnya ada terjalin hubungan “cipta, rasa dan karsa” sebaliknya didalam (kejawaan) diakui bahwa
rasa-lah yang dominan menguasai ungkapan kejiwaan orang Jawa.
Selama “rasa” tidak berfungsi dominan akan timbul penilaian sebagaimana bunyi ungakapan “wong jawa ilang rasane” lebih lanjut lagi “wong jowo ilang jawane” (orang jawa sudah ditinggalkan peranan “rasa”nya). Disinilah terpatri adanya “rasa Jawa” yang terkait dengan sikap perilaku Jawa (njawani) yang disertai “olah rasa”
Dengan “olah rasa” memungkinkan seseorang mempunyai kemampuan “tanggap ing sasmitha”, maksudnya cepat dan tepat menempatkan “rasa” nya dalam keadaan yang bagaimanapun juga.
Rasa jawa tidak sebatas pada rasa pahit atau manis, susah atau senang. Lebih dari itu berkaitan dengan “rasaning urip”. Sedangkan “rasaning urip”, berkaitan dengan “kejaten”. Rasa-jawa berhubungan erat dengan kasampurnaning urip.
Baca juga:
Tony Rosyid: Semarang Banjir, Kemana Anies?
|
Orang yang sudah “mikani rasa” tentu sudah mempunyai sikap “tanggap sasmitha” menerima berkah semesta. Sebagaimana tertulis pada kutipan berikut :...”mangkana rasane tyas mami, ing atase bangsanipun Jawa, anane ing jaman wus kena yen sinebut kanugrahan ingkang nyartani, mulane putraningwang den narimeng pandum, yeku pitulungan sukma, ingsun enget sangkaning kamulyan kaki, brekahe luluhuririra.
Nriman ing pandum.
Bahwa setiap berkah dari Semesta dapat diterima sepenuh hati. Sikap demikian sesuai dengan prinsip “keadilan” dalam rasaning urip.
Contoh : “adiluhung panyuwun – diparingi “; “adiling pitakon – diwangsuli”; adiling prentah-ditindaaken”; adiling peparing – ditampani. Apabila “prinsip keadilan” ini diditerapkan dalam pergaulan, kiranya akan menciptakan “rahayuning sarawungan”, jagad akan aman – tentram – damai, tidak ada orang yang kecewa, mendendam, sakit hati, marah dan sebagainya, Nuwun.